Beranda » Pendidikan » Inilah Awal Kisah Saya Dengan STAN Yang Tak Terlupakan

Inilah Awal Kisah Saya Dengan STAN Yang Tak Terlupakan

jumanto.comKisah Cerita masuk STAN tanpa Bimbel. Apa dilema terbesar anak SMA setelah lulus sekolah? Kuliah. Ya, kuliah. Kampus mana yang akan dituju. Jurusan apa yang akan diambil. Dan berbagai pertanyaan lainnya seputar dunia perguruan tinggi.

Dan dilema ini pun menghantui saya juga saat memasuki kelas 3 SMA sampai dengan saat kelulusan.

Menentukan perguruan tinggi adalah pilihan yang sangat sulit buat saya. Awal-awal masuk SMA, saya cuma mengenal UGM, UNDIP, Unsoed, UNNES, UNS, dan UNY. Bahkan UI pun saya belum tahu.

Mencari referensi ke sana ke mari, melihat peluang kuliah dengan biaya murah dan beasiswa, akhirnya kenallah saya dengan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).

Awal Kisah Perjuangan Saya Dengan STAN

STAN, pertama kali dengar kampus ini saat saya bertanya kepada kakak kelas saya, saat perjalanan pulang sekolah, di bis kota menuju terminal Purbalingga.

“Mas, bar lulus arep nglanjutna neng ngendi?”.

“STAN”.

“STAN kue apa, ngapa ora daftar UGM, UNDIP, UNY, UNS, apa UNNES bae Mas?”.

“Kuliahe enak dek, gratis. Lulus langsung kerja”.

Dan itu adalah pertama kalinya dengar istilah “STAN“. Dan saat itu juga baru tahu kalau ada sekolah gratis dan lulus langsung kerja.

Lambat laun, saya pun semakin kenal dengan STAN ini, dari perbincangan kawan-kawan di sekolah, dan juga dengan kedatangan kakak-kakak Dewangga STAN ke sekolah saya.

Karena Gak Mau Nganggur, Tekad Saya: Harus Masuk STAN

Setelah pengumuman kelulusan, tekad saya bulat bahwa saya harus masuk STAN. Satu lagi untuk cadangan, saya pun mengambil perguruan tinggi kedinasan lainnya, STIS.

Kenapa STAN?

Alasan pertama, kuliah gratis. Mengingat keterbatasan biaya, maka saya pun memutuskan tidak mengambil SPMB tahun itu. Sampai saat ini, saya sama sekali belum pernah punya pengalaman dengan SPMB atau UMPTN.

Mempertimbangkan alasan biaya, maka STAN adalah salah satu alternatif yang harus saya ambil, selain STIS.

Alasan kedua, jaminan kerja. Pandangan saya sewaktu SMA, saya tidak ingin nganggur setelah lulus kuliah nanti. Harus langsung kerja, sehingga langsung punya penghasilan sendiri.

Alasan terakhir, gaji yang lumayan. Setahu saya, lulusan STAN ya kerja di Kementerian Keuangan dan gajinya lumayan, dibandingkan dengan perguruan tinggi kedinasan lainnya. Dan ternyata pandangan saya waktu itu salah. Saya saat ini bekerja di BPKP, bukan Kementerian Keuangan ^_^.

Sedangkan STIS saya ambil, karena saya tidak ingin nganggur tidak kuliah, sehingga masih ada cadangan jika STAN tidak diterima (meskipun bisa saja kan dua-duanya tidak diterima ^_^).

Perjuaangan Masuk STAN di Jogja Tanpa Bimbel

Bulan Juni 2006 silam, dibukalah pendaftaran STAN Tahun Ajaran 2006/2007.

Pendaftaran dibuka mulai 27 Juni s.d. 13 Juli 2006.

Pengumuman Pendaftaran STAN 2006 resmi diumumkan dengan Pengumuman dari Kepala BPPK Nomor: PENG-137/PP/2006.

awal kisah cerita masuk stan tanpa bimbel
awal kisah cerita masuk stan tanpa bimbel

Saya dan beberapa teman SMA sepakat mendaftar STAN di Jogja tanpa bimbel, hanya modal belajar dari buku, dengan menggunakan sepeda motor.

Jadilah kami ber-enam (kalau tidak salah), berangkat dari Purbalingga pagi hari, sekitar jam 8. Saya membonceng teman saya, dan itu adalah pengalaman pertama saya naik motor untuk jarak yang cukup jauh.

Tujuan utama kami waktu itu adalah rumah Mbah salah seorang teman kami, di daerah Wates, Jogja, Kami berencana menginap di sana beberapa malam, karena tidak ada alternatif lain untuk menginap.

Jarak Purbalingga-Wates sekitar 150 km, dan kami pun beberapa kali berhenti untuk istirahat.

Dan jujur saja, perjalanan itu terasa sangat menyiksa buat saya. Pinggang dan punggung rasanya pegal-pegal luar biasa. Untungnya kami beberapa kali berhenti untuk istirahat.

Maklum, pengalaman kali itu benar-benar pengalaman pertama saya membonceng motor untuk menempuh perjalanan yang cukup jauh.

Sekitar 3-4 jam akhirnya sampailah kami di Wates, rumah Mbah salah seorang teman kami. Alhamdulillah, hilang sudah rasa lelah dan siksaan perjalanan ini.

Antrian Pendaftaran Mengular

Esok harinya, kami menuju lokasi pendaftaran STAN di daerah Kalasan, tepatnya di Balai Diklat Keuangan. Kami sampai di lokasi sekitar jam 8 pagi, dan kaget luar biasa.

Antrian pendaftaran STAN sudah mengular ratusan meter jauhnya. Matahari terik, tanpa pepohonan di kanan kiri untuk berteduh.

Kami pun langsung mengantri di barisan yang masih kosong di belakang.

Dari cerita-cerita calon pendaftar yang telah datang, kami dengar bahwa mereka sudah antri di sana jam 4 pagi. Wow. Yang antri jam 4 pagi saja belum dilayani.

Pendaftaran STAN waktu itu benar-benar masih jauh dari teknologi, tidak seperti sekarang ini. Kalau sekarang, calon mahasiswa tinggal buka komputer atau laptop, konek internet, lalu tinggal daftar dan transfer uang.

Semuanya dilaksanakan secara online, kecuali pada saat verifikasi berkas, dan antriannya pun tidak sepanjang pendaftaran STAN dulu.

Pendaftaran STAN pada masa kami terasa benar perjuangannya.

Harus antri begitu panjang. Semuanya dilaksanakan secara manual. Tidak ada pendaftaran online. Pendaftaran dilaksanakan bersamaan dengan verifikasi berkas dan penerbitan Bukti Peserta Ujian (BPU).

Sebelum mendaftar, kami harus mentransfer uang pendaftaran terlebih dahulu, yang waktu itu besarannya Rp100.000,-.

Setelah mentransfer uang, bukti transfer tersebut kami bawa beserta persyaratan lainnya, dan kami bawa pada saat mengantri untuk pendaftaran STAN.

Semua berkas harus lengkap, jangan sampai ada yang tertinggal, jika ada yang tertinggal maka harus kembali lagi dan antri sepanjang ratusan meter.

Pada saat antri, sering juga watak asli orang Indonesia muncul. Banyak calon pendaftar yang menyerobot antrian dan dengan tanpa bersalah, berdiri dengan tenang, mengantri di depan kami.

Dongkol? Yah, perasaan dongkol dan kesal luar biasa. Kami sudah antri berjam jam dan mereka tiba-tiba mengantri di depan kami.

Jadilah sepanjang hari itu kami harus mengantri untuk memasukkan berkas pendaftaran. Antrian begitu panjang, lebih dari 500 meter, dan di belakang kami pun masih ada juga ratusan meter antrian para calon pendaftar.

Jika melihat panjangnya antrian seperti itu, rasanya langsung putus asa, betapa banyaknya yang mendaftar STAN waktu itu, dan yang diterima hanya sekitar 2.000 saja seluruh Indonesia.

Padahal, baru satu hari saja, sudah seramai itu, belum hari-hari lainnya. Dan itu pun baru di Jogja, keramaian antrian pendaftaran juga ada di tempat pendaftaran lain.

Duh, waktu itu benar-benar mau menyerah rasanya. Capek berdiri, panas, antrian rasanya tak habis-habis dan seperti berdiri di tempat, tidak jalan-jalan.

Tapi Tuhan berkehendak lain, sehingga waktu itu pun, kami masih diberi kesabaran dan akhirnya kami pun bisa memasukkan berkas pendaftaran.

Pendaftaran ternyata tidak selesai dalam satu hari, sehingga hari itu kami pulang, dan keesokan harinya kami berangkat kembali untuk mengambil Bukti Peserta Ujian.

Setelah mendapatkan BPU, lega juga akhirnya, dan kami pun pulang ke rumah dengan sedikit tenang. Tinggal belajar mempersiapkan materi, belajar Soal-soal STAN.

Selanjutnya, cerita masuk STAN Tanpa bimbel berlanjut ke Tes USM STAN di Jogja Ala Backpacker.