Beranda » Agama » Bahasa Arab » Nahwu » 5 Hukum Mubtada Dalam Ilmu Nahwu Bahasa Arab Yang Harus Kita Tahu

5 Hukum Mubtada Dalam Ilmu Nahwu Bahasa Arab Yang Harus Kita Tahu

5 hukum mubtada dalam ilmu nahwu bahasa arab

jumanto.com – Hukum Mubtada. Salah satu isim yang dibaca rofa’ adalah mubtada’ yang dalam ilmu nahwu memiliki syarat-syarat atau hukum. Pengetahuan tentang mubtada’ ini cukup penting saat kita menganalisis tulisan arab berupa susunan jumlah ismiyah yang terdiri atas mubtada’ dan khobar.

Mubtada’ sendiri secara bahasa berarti permulaan, karena secara umum, mubtada memang ada di awal jumlah atau di awal kalimat.

Namun, nanti ada kondisi di mana letak mubtada justru jatuh setelah khobarnya, dan akan kita bahas juga di artikel ini.

Mubtada tersebut nantinya disebut dengan mubtada muakhor.

Penjelasan lengkap, silakan baca artikel ini sampai selesai.

Baca juga: Pembagian Kalimah Dalam Bahasa Arab.

Hukum Mubtada’ Dalam Ilmu Nahwu

Referensi yang saya gunakan dalam menulis artikel ini adalah kitab Jami’ud Durus Al ‘Arabiyah karya Syech Musthofa Al Ghulayaini.

Bisa kalian download PDFnya di internet atau baca langsung di maktabah syamilah.

Di kitab tersebut, disebutkan ada 5 hukum mubtada yang harus menjadi catatan kita saat belajar ilmu nahwu.

5 Hukum Mubtada tersebut sebagai berikut:

1. Wajib rofa’

Apa itu rofa’?

Jika belum tahu, maka baca dulu materi ini: macam-macam i’rob.

Di materi tersebut sudah kita bahas materi jenis-jenis i’rob yang ada empat yaitu rofa, nashob, jer dan jazm beserta tanda-tandanya.

Nah, salah satu i’rob yang masuk pada kalimah ism adalah rafa’.

Mubtada adalah kalimat isim.

Dalam kondisi normal, mubtada’ ini wajib dibaca rofa.

Contohnya: مُحَمَّدٌ قَائِمٌ.

Muhammad adalah orang yang berdiri.

مُحَمَّدٌ wajib dibaca rofa’ karena menjadi mubtada’, tanda rofa’nya adalah dhommah disebabkan karena ia adalah isim mufrod.

Mubtada’ termasuk salah satu dari marfu’atul asma.

Pengecualian, ada 3 kondisi di mana terkadang mubtada tidak dibaca rofa’:

  • dijerkan oleh huruf ba’ zaidah, contohnya بِحَسْبِكَ اللهُ
  • dijerkan oleh min zaidah, contohnya هل مِنْ خالقٍ غيرُ الله يَرزقكم؟
  • dijerkan oleh rubba (huruf jer yang diserupakan dengan zaidah), contohnya: يا رُبَّ كاسيةٍ في الدنيا عاريةٌ يومَ القيامة.

2. Wajib terbuat dari isim ma’rifah atau nakirah mufidah

Yang pertama, secara umum, mubtada’ itu terbuat dari isim ma’rifat seperti:

  • isim dhomir
  • isim isyarah
  • isim maushul
  • isim alam
  • isim yang dimudhofkan kepada isim isyarah
  • isim yang ada al (alif lam)

Namun, terkadang juga mubtada itu berupa isim nakirah.

Selengkapnya, silakan baca: 24 mubtada nakirah.

Jika di dalam kitab Jami’ud Durus Al Arabiyah, hanya disebutkan 14 mubtada dari isim nakirah, yang intinya isim nakirah ini harus mufidah.

Namun, ke-14 itu sudah tercakup dalam materi 24 mubtada isim nakirah di artikel yang pernah kita bahas sebelumnya.

3. Hukum mubtada yang ketiga, boleh membuang mubtada jika ada dalil yang menunjukannya

Dalam ilmu nahwu, kadang mubtada juga boleh dibuang.

misalkan pada jawaban pertanyaan:

كيف سعيدٌ

Jawabannya bisa: مجتهدٌ, yang maksudnya adalah هو مجتهدٌ.

Mubtada berupa isim dhomir هو dibuang.

Contohnya lagi di dalam Al Quran:

من عَملَ صالحاً فلِنفسه، ومن أساءَ فعلَيها

فلِنفسه maksudnya adalah فعمله لنفسه, namun mubtada’nya yaitu عمله dibuang.

Contoh lain di Al-Quran

سُورةٌ أنزلناها

Maksudnya adalah هذه سورة dimana mubtada’nya yaitu هذه  telah dibuang.

Baca juga: Isim mudzakkar dan muannats.

4. Wajib membuang mubtada pada 4 kondisi

Terkadang, mubtada justru wajib dihilangkan atau khadful mubtada’, yaitu jika;

a. jawaban dari sumpah (qosam)

Jika mubtada merupakan jawaban atas sumpah, maka dia wajib dibuang.

Contohnya:

في ذِمَّتي لأفعلنَّ كذا

Maksudnya adalah في ذِمَّتي عَهدٌ atau في ذِمَّتي ميثاقٌ lalu mubtadanya dibuang.

b. Saat khobarnya adalah mashdar yang menjadi pengganti fi’ilnya

Contohnya:

صبرٌ جميلٌ

Maksudnya adalah صَبري صبرٌ جميلٌ lalu karena صبرٌ adalah mashdar fi’ilnya maka mubtada’ dibuang.

Atau:

سمعٌ وطاعةٌ

maksudnya adalah أمري سمعٌ وطاعةٌ.

c. Saat khobarnya berupa pujian dan celaan setelah ni’ma dan bi’sa

Saat khobarnya khusus bil-madkhi au adz-dzammi, ba’da نِعْمَ وبِئسَ, maka mubtadanya dibuang.

Contohnya:

نعمَ الرجلُ أبو طالبٍ، وبِئسَ الرجلُ أبو لَهبٍ

Sebaik-baik orang adalah Abu Thalib dan Sejelek-jelek orang adalah Abu Lahab.

Dua lafadz أبو (abu) di sana adalah khobar dari mubtada yang dibuang, yaitu dhomir munfashil هوَ.

Asli katanya: نعمَ الرجلُ هوَ أبو طالبٍ، وبِئسَ الرجلُ هوَ أبو لَهبٍ

d. Jika mubtada asalnya adalah na’at, lalu menjadi na’at maqthu’ untuk menunjukkan pujian, merendahkan, atau belas kasihan

Contohnya;

خذ بيد زهيرٍ الكريمُ

Asalnya adalah خذ بيد زهيرٍ هو الكريمُ

Atau:

دَعْ مجالسةَ فلان اللئيمُ

Asalnya adalah دَعْ مجالسةَ فلان هو اللئيمُ

Atau:

احسِنْ الى فلانٍ المسكينُ

Asalnya adalah احسِنْ الى فلانٍ هو المسكينُ

5. Hukum asal mubtada adalah didahulukan atas khobar

Namun terkadang, khobar wajib didahulukan dari mubtada, yang dinamakan dengan khobar muqaddam dan mubtada muakhor.

Terkadang juga boleh keduanya: mendahulukan mubtada atau mengakhirkan mubtada.

Penjelasannya insya Allah di artikel selanjutnya.

Baca juga: Tanda I’rob Af’alul Khomsah.

Kesimpulan

Mubtada adalah isim ma’rifat yang dibaca rofa dan jatuh pada awal kalimat.

Hukum asal mubtada adalah seperti itu.

Namun, setelah membaca 5 hukum mubtada di atas, maka kini kita bisa tahu bahwa ada pengecualian-pengecualian pada susunan mubtada khobar, terkadang mubtada juga dibuang. Baca juga: Materi Nahwu Shorof Pemula.